Butiran hangat mengalir disudut mata ku saat ku mampu terbangun dari mimpi indah yang telah berapa malam ini selalu menghiasi tidurku. Alhamdulillah aku masih bisa menghirup segarnya udara pagi yang masih murni belum tejamah apa pun. Butiran embun pagi yang tersisa diujung-ujung daun mawar dihalaman rumah kost ku menjadi saksi betapa murninya udara pagi. Barisan rona mawar merah yang tengah bermekaran semakin mempercantik suasana dan juga menelusup sampai ke dalam batin ku. Dari balik jendela mungilku, ku intip sang mentari yang siap tuk bertugas memberikan pelita hari ini, memberikan cahaya sumber inspirasi bagi seluruh jiwa. Dari selesai subuh tadi aku termanggu disini menikmati indahnya lukisan alam di kanvas semesta pagi ini. Rona jingga di ufuk timur yang menyeruak melewati barisan-barisan nakal sang awan menandakan sang raja siang akan segera datang dengan terik panasnya yang akan membakar jiwa-jiwa muda untuk bersemangat menjalani kehidupan yang kian lama semakin menegangkan.
Berbeda dengan ku, aku lebih senang mengintip sang mentari yang mencoba adil kepada sang alam untuk membagi sinarnya agar semua merasakan kehangatan yang ia pancarkan pagi ini. Aku malah asyik dengan lamunanku tentang mimpiku semalam, tanpa ingin segera beranjak lalu pergi ke kampus untuk mendengarkan materi dosen. Jarang sekali aku duduk berlama-lama di jendela kamar ini. Entah mengapa pagi ini aku begitu berniat berdiri termanggu lama disana seolah-olah ada magnet besi yang menempelkan celah-celah jemariku untuk tetap menggenggam barisan terali besi bak penjara yang mengurungku. Tangan ku tetap bercengkrama disana, tak goyah sedikit pun.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB, itu berarti sudah hampir satu setengah jam aku berdiri mematung di tepi jendela takjub melihat pemandangan pagi, meihat lukisan alam yang alami. Ku rasa tak ada satu pun orang yang mampu tuk mengalah kan lukisan alam yang begitu mempesona menyeruak kedalam relung jiwa. Subhanallah.
Aku harus rela meninggalkan jejak-jejak sang jingga yang segera berganti menjadi kuning cerah sang mentari yang semakin akan meninggi sesuai dengan putaran waktu. Ia tak pernah korupsi atau pun kompromi. Ia tak pernah ingin melewatkan lima belas menit saja untuk terlambat pulang ke peraduannya. Ia mensyukuri apa yang dianugrahkan Tuhan kepadanya. Ia rela berbagi hari dengan sang malam yang melelapkan. Tak pernah ia iri dengan sang malam yang selalu penuh dengan sejuta bintang dan ditemani sinar sang rembulan.
Read More...