Hidup bagaikan pelangi. indah memancarkan warna warni

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 21 Januari 2012

Hati yang Terbalut Rindu


 Butiran hangat mengalir disudut mata ku saat ku mampu terbangun dari mimpi indah yang telah berapa malam ini selalu menghiasi tidurku. Alhamdulillah aku masih bisa menghirup segarnya udara pagi yang masih murni belum tejamah apa pun. Butiran embun pagi yang tersisa diujung-ujung daun mawar dihalaman rumah kost ku menjadi saksi betapa murninya udara pagi. Barisan rona mawar merah yang tengah bermekaran semakin mempercantik suasana dan juga menelusup sampai ke dalam batin ku. Dari balik jendela mungilku, ku intip sang mentari yang siap tuk bertugas memberikan pelita hari ini, memberikan cahaya sumber inspirasi bagi seluruh jiwa. Dari selesai subuh tadi aku termanggu disini menikmati indahnya lukisan alam di kanvas semesta pagi ini. Rona jingga di ufuk timur yang menyeruak melewati barisan-barisan nakal sang awan menandakan sang raja siang akan segera datang dengan terik panasnya yang akan membakar jiwa-jiwa muda untuk bersemangat menjalani kehidupan yang kian lama semakin menegangkan.
Berbeda dengan ku, aku lebih senang mengintip sang mentari yang mencoba adil kepada sang alam untuk membagi sinarnya agar semua merasakan kehangatan yang ia pancarkan pagi ini. Aku malah asyik dengan lamunanku tentang mimpiku semalam, tanpa ingin segera beranjak lalu pergi ke kampus untuk mendengarkan materi dosen. Jarang sekali aku duduk berlama-lama di jendela kamar ini. Entah mengapa pagi ini aku begitu berniat berdiri termanggu lama disana seolah-olah ada magnet besi yang menempelkan celah-celah jemariku untuk tetap menggenggam barisan terali besi bak penjara yang mengurungku. Tangan ku tetap bercengkrama disana, tak goyah sedikit pun.
 Waktu sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB, itu berarti sudah hampir satu setengah jam aku berdiri mematung di tepi jendela takjub melihat pemandangan pagi, meihat lukisan alam yang alami. Ku rasa tak ada satu pun orang yang mampu tuk mengalah kan lukisan alam yang begitu mempesona menyeruak kedalam relung jiwa. Subhanallah.
Aku harus rela meninggalkan jejak-jejak sang jingga yang segera berganti menjadi kuning cerah sang mentari yang semakin akan meninggi sesuai dengan putaran waktu. Ia tak pernah korupsi atau pun kompromi. Ia tak pernah ingin melewatkan lima belas menit saja untuk terlambat pulang ke peraduannya. Ia mensyukuri apa yang dianugrahkan Tuhan kepadanya. Ia rela berbagi hari dengan sang malam yang melelapkan. Tak pernah ia iri dengan sang malam yang selalu penuh dengan sejuta bintang dan ditemani sinar sang rembulan.
*****
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB, aku harus segera bergegas menuju kampus. Jam kuliah ku dimulai pukul sepuluh begitu yang tertera di jadwal yang aku terima dua hari yang lalu. Ini adalah hari pertama ku untuk masuk kuliah lagi setelah berhasil melewati tantangan semester empat. Alhamdulillah, walaupun IP ku tidak tinggi tapi yang penting cukup memuaskan batin ku. Mungkin inilah hasil terbaik yang aku dapatkan setelah memaksimalkan seluruh kemampuan. Aku tidak pernah menyalahkan siapa-siapa karena itu hasil kerjaku, cerminan dari kerja kerasku, mungkin yang ku lakukan selama ini belum sepenuhnya jadi hasilnya ya seadanya. Toh orang tua ku tidak pernah menuntut apa-apa, yang penting aku dapat menyelesaikan studi ku dengan baik dan membanggakan mereka. Sungguh beruntungnya berada diantara orang-orang seperti mereka.
Sudah lima belas menit aku mematung di depan cermin menyulap kain segi empat menjadi jilbab mungil yang menghiasi kepalaku. Mahkota ini telah ku sandang semenjak duduk dibangku SMA tepatnya kelas dua saat itu. Aku tersenyum jika harus mengingat niat ku waktu itu. Aku sadar bahwa saat itu bukan semata-mata karena Allah tapi lebih tepatnya menghindar dari dia.      Insyallah saat ini aku benar-benar berniat karena Allah bukan karena dia atau mereka.
Masih ada waktu untuk empat rakaat Dhuha. Sudah menjadi kebiasaanku di sini ketika aku memutuskan untuk kuliah. Bapak berpesan bahwa “sering-sering sholat dhuha yo nduk ben rezeki ne dimudah ne karo Gusti Allah”, begitu suara Bapak ketika sering menelpon ku ketika aku baru saja memutuskan untuk mandiri sebagai anak kost. Mamak yang tak rela melepas ku waktu itu. Ia bersikeras agar aku tetap tinggal di rumah dan kuliah di sana saja. Aku yang saat itu masih semangat-semangatnya tentu tak mau untuk kuliah disana. Cukup lah dari SD sampai SMA aku disana. Huft… kalau dipikir ulang lagi ada benarnya Mamak tak menyuruh ku kuliah jauh-jauh. Mamak, Bapak aku merindukan kalian. Ku selipkan doa khusus untuk Mamak dan Bapak yang telah menjaga, menyayangi dan membesarkan ku. Doa khusus yang aku panjatkan kepada pemilik jiwa, semoga mereka selalu djaga, dilindungi, diampuni dosa-dosanya dan juga disayang seperti mereka menyayangi ku. Tak terasa butiran hangat mengalir disudut kedua mata ku. Aku terlau sensitive jika membayangkan mereka. Sudah  dua tahun setengah semenjak kuliah, aku tak melihat wajah mereka. Sejuta rindu menelisik kedalam kalbu, menuju kedalam bagian terdalam hati ku, aku rindu senyuman itu.
*****
Ista Ramadhinta nama panjang ku. Orang lebih mengenalku dengan Ista terkadang karena susah mereka memanggilku Ta saja. aku terlahir di bulan ramadhan yang begitu suci dan penuh dengan maghfiroh. Bulan yang lebih baik dari seribu bulan. Bulan yang menjadi saksi turunnya  Al quran. Bulan yang penuh dengan pengampunan. Bulan yang penuh dengan kebaikan amal. Semoga aku menjadi salah satu penabur benih setiap amal kebaikan dan kebajikan dan berharap mendapatkan safaat di yaumil akhir nanti. Aamin ya Robb.
Suasana kuliah disemester lima sangat berbeda yang telah terangkai dalam bingkai ramadhan. Perkuliahan pertama bertepatan dengan ramadhan pertama. Sangat sedih tak bisa menikmati ramadhan pertama dengan Mamak dan Bapak. Tapi itulah konsekuensi yang harus ku lalui. Perkuliahan akan berakhir menjelang seminggu sebelum lebaran. Itu berarti masih sekitar dua puluh tujuh hari harus ku lalui. Itu bukan lah jumlah bilangan yang sedikit yang mesti dilalui oleh orang-orang yang tengah terbalut rindu seperti diriku. Beruntung aku mempunyai teman-teman yang mampu mengobati sejuta rindu yang terpendam. Mereka selalu menghibur dan menyemangati ku. Dua puluh tujuh hari bukan lah jumlah bilangan yang besar dibandingkan dengan penderitaan Nabi Muhammad saw ketika harus berjuang menyebarkan agama islam, agama kebenaran. Aku tidak boleh egois, tidak boleh mengeluh, harus mampu memanfaat kan waktu saat ini.
Kesibukan kuliah dengan tumpukan tugas-tugas yang siap deadline lama kelamaan mulai menggantikan pikiran ku, menghalau sejenak rindu yang telah mebuncah dengan kewajiban yang mesti dipenuhi. Aku tenggelam dalam kesibukan tanpa lagi memikirkan hati ku yang telah memendam sejuta rindu. Maaf kan aku. Sory to my heart.
*****
Tak terasa dua puluh lima hari telah berlalu, tinggal dua hari lagi aku disini lalu pulang menemui Bapak dan Mamak yang terus kurindui. Menyelesaikan beberapa kegiatan dan mengurus ini itu, menyelesaikan tugas akhir sebelum libur dan tentunya tak lupa mencarikan oleh-oleh untuk Mamak dan Bapak untuk dipakai di hari nan fitri. Betapa senangnya hati ini ingin bertemu dengan pengobat rindu.
*****
Aku sengaja pulang diam-diam tanpa memberitahu Mamak. Aku ingin memberi kejutan. Surprise. Tiba-tiba aku muncul di depan pintu menunggu Mamak membuka kan pintu dan melihat reaksi Mamak yang terkejut menyambut kedatangan ku. Pasti Mamak akan terisak berlinang air mata menyambut ku. Sudah tak sabar aku menunggu. Perjalanan ini sungguh menyiksa ku,
Duhai orang yang ku rindu,
Tak sabar hati ini ingin bertemu,
Tak sabar hati ini ingin melihatmu,
Tak sabar hati ini ingin memelukmu,
Duhai orang yang ku rindu,
Tunggulah kedatangan ku.
*****
Lima belas panggilan tak terjawab dan sepuluh pesan tertera di layar ponsel ku. Sengaja ponsel ku tinggal karena aku ingin ke kamar mandi, tak tahan berada di bus yang full ac. Kubuka layar ponsel dengan tenang. Ternyata panggilan dari Bulek di kampung. Entah apa yang ingin ia sampaikan aku tak tahu. Aku penasaran dengan banyak nya panggilan masuk. Ku buka sepuluh pesan yang masuk. Semua dari keluarga ku yang ada di kampung. Aku takut terjadi bentrok lagi antar warga. Di sana, di daerah ku, di Papua sana sering terjadi hal seperti itu. Mereka terlalu anarkis untuk menyikapi hal yang biasa. Mereka senang adu otot. Mereka tak kenal dengan musyawarah yang sering kami lakukan sebagai orang Jawa. Kami lebih suka bemusyawarah dahulu, tapi terkadang hanya bermusyawarah saja tanpa tujuan yang jelas. Hanya pintar bicara tanpa adanya aplikasi yang nyata. Sebagai penduduk pendatang, di sana kami belum siap mental sepenuhnya. Sebagai orang perantauan komunitas kami tak begitu banyak di sana. Dulunya kami tinggal di pulau Jawa namun karena populasi nya semakin meningkat akhirnya keluarga ku memutuskan untuk pindah kedaerah ujung Indonesia yang masih asri dan belum padat penduduk nya. Tepatnya di Papua Barat daerah Wasior. Rasa penasaran ku semakin membuncah ketika pesan itu ku baca.
“Assalamualaikum Nduk,
gak usah pulang dulu!
Keadaan lagi gak baik!!”
Aku bingung membaca pesan itu, ada bisikan makna tak baik dalam deretan kata-kata nya. Aku bingung sekali. Ku coba hubungi nomor Bulek yang tadi menelpon ku tapi jaringan nya sibuk. Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Aku linglung dengan keadaan ini. Aku ingin menghubungi Bapak tapi dengan apa. Selama ini aku hanya bisa berkirim kabar lewat surat dengan Mamak dan Bapak. Keadaan di pelosok tak memungkinkan untuk memasang telepon. Aku seperti nahkoda yang kehilangan arah. Tujuan ku tak pasti. Bahkan aku tak tahu dimana sekarang. Samar-samar aku mendengar berita yang menyatakan telah terjadi banjir bandang di daerah Wasior Papua Barat. Aku langsung mengalihkan pandangan, memfokuskan penglihatan dan pendengaran ku. Bukan kah itu daerah ku. Apa ini yang dikatakan keadaan tidak baik. Masih terdengar ocehan pembaca berita yang menayangkan kejadian banjir bandang itu. Sejauh ini jumlah korban yang ditemukan berjumlah 100 jiwa sedangkan yang lainnya belum di temukan. Aku tak kuasa untuk mendengar berita itu. Ku biarkan lantunan itu menghalau ku sejenak mengingat indah nya kota itu. Bermain di sungai  dengan bebatuan yang besar bersama Mamak dan Bapak. Tertawa riang di sana. Menikmati indahnya alam ku yang asri yang belum terjamah apa pun. Meninggalkan sejenak ragaku di bus ini, berkelana jauh melewati deretan waktu kembali ke masa itu. Masa dimana aku berada di antara orang-orang yang selalu aku rindu. Suara pembaca berita yang terdengar berat dan penuh penekanan itu membuyar kan semua lamunan tentang masa itu, masa di mana aku berada diantara orang-orang yang selalu aku rindu. Bagaikan hantaman batu yang jatuh dari gunung menimpaku, laksana meteor yang tiba-tiba menghantam kepala ku. Hancur tak terkira, mugkin itu yang tengah ku rasa saat ini.  Belum sempat aku ingin melihat wajah orang yang ku rindu. Belum sempat aku ingin mengecup kening hangat itu. Belum sempat aku ingin menunjukkan kebahagiaan ku. Belum sempat aku untuk melepas rindu. Ya Robb kenapa semua ini harus terjadi pada ku, mengapa bukan mereka atau dia saja. Aku tak kuasa menahan semua ini. Lindungi orang-orang yang ku rindu ya Robb. Lindungi mereka ya Robb. Aku ingin melihat orang yang ku rindu sekali pun mereka tak bisa lagi memeluk dan manyapa ku. Aku ingin melihat wajah dan semangat keikhlasan orang yang ku rindu sekali pun tak mungkin untuk bersatu. Butiran hangat mengalir deras di kedua mata ku. Berlomba dengan banjir bandang yang telah menelan orang yang ku rindu. Sepenggal doa ku selipkan dalam isakan tangis ku untuk orang yang ku rindu, moga Allah selalu melindungi mu.
Ransel yang ku sandang jatuh, kotak-kotak mungil yang tergenggam dijemariku terlepas tanpa kendali. Kotak mungil yang telah ku persiapkan untuk memberi surprise tak kuasa tergenggam lagi. Ia bagaikan berlari enggan untuk ku berikan kepada orang yang ku rindu. Ia seolah sembunyi takut melihat orang yang ku rindu. Ia tak rela jika harus ku berikan pada orang yang ku rindu.
*****
Menghadapi kenyataan lebih susah. Aku tak kuasa melihat semua ini. Hamparan yang dulu hijau kini berubah menjadi hamparan lumpur coklat yang bau. Tak lagi ku temukan asri nya kota ku. Semua berbeda. Aku mencoba menyisir rindu di setiap langkah ku, mencoba untuk menemukan orang-orang yang ku rindu. Berharap bisa bertemu dan memeluk nya, berharap mereka memanggil lalu memeluk ku dalam dekapan hangat yang selalu dinanti bagi orang-orang yang tengah terbalut rindu seperti diri ku. Mungkin tak kan ku dapati lagi orang yang ku rindu. Aku berjalan menyisiri kampung halaman ku. Berjalan di sepanjang aliran sungai yang dulu membawa riak tawa, berharap akan menemukan orang yang ku rindu. Aku berlari berlomba dengan deretan waktu. Mencari di posko-posko penampungan sementara. Mencoba mencari jejak-jejak dari orang yang ku rindu. Mencari mereka di deretan orang-orang yang telah syahid di jalanNYA.  Ku buka satu per satu penutup wajah itu namun tak pernah ku temui wajah orang yang ku rindu.
“Mamak, Bapak aku rindu. Andai pun ini telah di gariskan oleh Sang Maha Tahu, aku ikhlas menerimanya. Kalian lebih dulu mendahului ku, kalian adalah para syuhada.  Semoga kalian di tempat kan di tempat terindah di sisi_NYA. Aamiin ya Robb.”      
Di tengah kegamangan dan kebisuan aku hanya bisa terdiam dalam isakan tangis, berharap akan ada orang yang mendengar lalu menyampaikan nya  pada orang yang selalu ku rindu,berharap seberkas sinar sang mentari kan menjelma di salah satu pojok kota ku. Menari dangan lantunan nada indah yang penuh warna, termanggu dalam diam, mencoba menatap meski tak mampu, mencoba bertahan meski pun rapuh. Aku tak mampu menopang diri ku yang tengah terluka, kaki ini terlalu rapuh untuk menahan berat nya beban derita rindu. Berharap akan ada suara lembut mereka memanggil, berharap akan ada lambaian tangan kepada ku, lambaian orang-orang yang selalu kurindu.


Tiit..tiit..tiit..
1  message
                Received

“Assalamualaikum Nduk,
Bapak dan Mamak baik-baik saja,
Sekarang di tempat Bulek mu,
Di Manokwari”

ALLAHUAKBAR,, Maha Besar Engkau Ya ALLAH. Alhamdulillah, Kau telah menyelamat kan orang-orang yang ku rindu. Kau melindungi orang-orang yang ku rindu. Mamak, Bapak aku menyayangi kalian. ALLAH masih mengizinkan kita bertemu. Aku akan segera beragkat menyusulmu. Menyisir rindu di setiap jalan kota ku.

Di tengah gerimisnya kota ku,
di Kamis itu,
13:32
By : Hayato Kazamiee

Kamus kecil
·      sering-sering sholat dhuha yo ndok ben rezeki ne dimudah ne karo Gusti Allah : sering-sering sholat Dhuha ya, supaya rezeki nya dimudahkan sama ALLAH.
·      Bapak         : sapaan orang tua laki-laki di Jawa
·      Mamak       : sapaan orang tua perempuan di Jawa
·      Bulek          : sapaan untuk kakak perempuan dari Mamak di Jawa
·      Nduk           : sapaan bagi anak perempuan di Jawa

0 komentar:

Posting Komentar